Tuesday, April 10, 2007

TENDENSI PEMIMPIN DI TIMOR – LESTE

(Analisis Kritis Teoritis dalam perspektif Orientasi pemimpin di Timor-Leste)

Oleh : Ermenjildo da Costa S.E., S.Pi., M.A

Banyak orang tidak mengetahui secara benar tentang “tendensi diri sendiri dan tendensi seorang pemimpin”, sehingga menimbulkan konflik dalam berbagai institusi maupun antar institusi, serta antar satu individu dengan individu lain dalam suatu relasi. Hal ini, jika dibiarkan akan menjadi ancaman kesatuan dan bersatuan yang terbentuk dari pluralistik social dan budaya dalam satu negara. Realitas konflik di Timor-Leste dari tahun 1975, 1999 dan 2006 telah menunjukkan hal ini. Karenanya penting bagi kita memahami tentang tendensi seorang pemimpin secara benar dalam perspektif manusia sebagai suatu kenyataan sentral di alam semesta (antropocentrism ).

Terminologia tendensi berarti kecondongan, kecenderungan, penekanannya pada kecondongan hati. Tendensi (Kecenderungan) merupakan keinginan hati yang masih bersifat future dalam kaitannya dengan pemimpin mendatang, belum dapat direalisasikan. Sementara tendensi kaitannya dengan pemimpin masa lalu sudah berifat past yakni sudah banyak direalisasikan, yang jelas semua manusia memiliki kecenderungan hati. Kecenderungan manusia dimotori oleh naluri serta rasionalitasnya. Selain orang dewasa, khususnya kecenderungan anak-anak manusia berumur 0 – ±3 tahun masih ditentukan oleh nalurinya, misalnya kepingin mau kencing, tidak perlu mencari tempat yang tersembunyi, kencing di tempat umum sekalipun tidak merasa malu, mau berak di celanapun jadi. Karena belum memiliki kesadaran etika yang sempurna, sebagaimana manusia dewasa pada umumnya. Sementara binatang kecenderungannya ditentukan oleh nalurinya saja.

Kecenderungan merupakan modal dasar yang di atasnya terbentuk hak asasi manusia. Sebab kecenderungan lebih berindikasi pada pilihan, itulah sebabnya kecenderungan berarti juga landasan nilai esensi fundamental manusia yang mencirikan manusia sebagai makluk yang bebas menentukan citra dirinya. Kecenderungan bukanlah hak asasi manusia itu, melainkan oleh kecenderungan manusia dapat menentukan bagi dirinya apa yang menjadi esensi dan fundamental. Jadi setiap orang, selain memiliki kebenaran esensi dan fundamental yang berbeda, juga pada segi lain memiliki kesamaan kebenaran esensi dan fundamental.

Kebenaran nilai esensi dan fundamental ini yang dimiliki oleh manusia disebut dengan hak asasi manusia. Jadi hak asasi memiliki unsur-unsur yang membentuknya. Hak memiliki beberapa unsur dasar yakni milik, kepunyaan, benar, kewenangan, kekuasaan, kemampuan, otoritas, kecakapan. Sementara asasi artinya pokok, dasar, fundamental, esensi, nilai. Banyak orang menyebut hak asasi tanpa mencakupi seluruh unsur - unsur dasar yang membentuknya. Padahal unsur-unsur dasar hak asasi itulah menjadi daya tarik tersendiri bagi kecenderungan seseorang. Dalam definisi yang sederhana, hak asasi adalah milik kepunyaan yang sangat fundamental sifatnya.

Manusia, siapapun dia cenderung mempertahankan milik kepunyaan yang sangat fundamental. Pertanyaannya adalah apa yang menjadi miliki kepunyaan fundamental bagi manusia? Salah satu hal yang utama dan terutama yang sangat esensi dan fundamental bagi manusia adalah diri manusia itu sendiri secara utuh baik secara jasmani maupun rohani, yang merupakan rupa dan gambar Allah yang maha tinggi. Selain itu, masih banyak hal lain yang oleh setiap manusia menganggapnya sebagai hal yang esensi dan fundamental. Bagi seorang gadis menganggap keperawanan sebagai nilai esensi dan fundamental yang harus dipertahankan sebelum memasuki pelaminan. Ada juga yang lebih menekankan nyawa sebagai nilai esensi yang paling penting, pihak lain lagi, menganggap harga diri dan wibawa sebagai hal yang sangat esensi fundamental. Masih banyak jenis bentuk-bentuk dari hal-hal yang dianggap paling esensi dan fundamental oleh manusia. Jadi kesemuanya itu menjadi sasaran orang untuk berkecenderungan.

Demi melindungi hal-hal esensi dan fundamental tersebut, secara natural manusia dilengkap dengan apa yang oleh Sigmund Freud, seorang ahli psikologi yang terkenal, menyebutnya sebagai ego, yakni konsepsi individu tentang dirinya sendiri. Ego manusia senantiasa mengarahkan dan mendorong kecenderungan manusia untuk meraih apa yang diinginkannya dalam rangka memuaskan (satisfying) dirinya sendiri. Tindakan pertahanan ego yang demikian dianggap normal dalam pendekatan hak asasi manusia, yakni tindakan tersebut selagi tidak menghambat atau merugikan milik kepunyaan yang fundamental dari orang lain. Itulah pertimbangannya sehingga budaya manapun juga termasuk Timor-Leste, memiliki kebiasaan menempatkan kecenderungan diri seorang individu sebagai hal yang sangat fundamental yang terus disebut dengan liberdade (semua orang memiliki kebebasan yang sama untuk mewujudkan tendensinya), serta sambil menjaga dan memelihara kecenderungan orang sehingga kecenderungan itu sendiri tidak boleh menghambat dan merugikan pihak lain.

Mengingat manusia kecenderungannya lebih mengutamakan diri sendiri, terkadang memanfaatkan orang lain untuk mencapai pada sasaran yang diinginkan. Maka itu, hampir setiap negara, termasuk Timor-Leste memiliki dasar hukum yang legal-formal untuk memaksakan warganegaranya lebih bertendensi dalam menghargai dan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada dirinya maupun orang lain di atas segala sesuatu.

Pertanyaanya adalah diri sendiri dan diri orang lain, manakah yang harus diutamakan? Mungkin bagi kandidat presiden tahun 2007 - 2012, lebih mudah menjawabnya dengan berkata “diri orang lain diutamakan”, sebab jika berani berkata “diri sendiri yang diutamakan” tentu sang kandidat presiden tidak pernah bakal jadi presiden. Meskipun jawabannya “diri orang lain diutamakan”, namun tetap saja jawaban yang demikian itu sangat “situasional”.

Bagaiamanapun dan siapapun dia, dalam kaitannya dengan hal-hal yang sangat esensi dan fundamental menyangkut nilai-nilai harkat dan martabat manusia, tentu ia akan lebih condong kepada diri sendiri ketimbang orang lain. Kecenderungan yang demikian ini oleh Talcott Persons menyebutnya orientasi diri (self orientation), maksudnya adalah dalam suatu hubungan, seseorang lebih berorientasi pada kepentingan diri sendiri (Kamanto Sunarto, 1993: hal. 137). Tendensi pada self orientation ini sudah merupakan salah satu kekuatan inherent yang mencirikan manusia sebagai makluk rasional.

Hal mengutamakan diri sendiri merupakan tendensi dan orientasi salah satu dari hakekat manusia, maka disinilah titik persoalannya dalam suatu interaksi social yang lebih kompleks. Letak titik persoalannya adalah setiap pribadi yang berinteraksi dalam suatu lingkungan, masing - masing pribadi memiliki ego yang berorientasi pada pertahanan diri. Namun demikian, adapun masing-masing individu yang berkumpul, terkadang memiliki persamaan tendensi kepada sesuatu hal tertentu. Di atas dasar kesamaan tendensi inilah menjadi dasar terbentuknya suatu organisasi baik organisasi politik, maupun institusi-institusi serta berbagai jenis kelompok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kendatipun demikian kesamaan kecenderungan dalam suatu organisasi itu bukan berarti meniadakan self orientation. Sebaliknya melalui organisasi atau institusi tertentu seseorang yang dipilih menjadi pemimpin institusi akan lebih diberkuat nilai-nilai harkat dan martabatnya dan begitu juga focus tendensi pada diri sang pemimpinpun semakin tinggi. Hal ini menandakan sang kandidat terpilih telah berhasil menarik kecenderungan orang kepada dirinya untuk memposisikannya pada tingkat kepemimpinan yang diinginkannya. Selanjutnya pemimpin terpilih akan semakin kuat tendensi pembawaannya untuk dapat menguasai dan mempengaruhi orang lain, mengharapkan penghormatan orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik, hal ini disebut dengan wibawa.

Apakah itu berarti seseorang yang menjadi pemimpin tidak memiliki orientasi kolektif (collectives orientation)?. Jawabannya adalah sederhana yakni self orientation itu sendiri adalah hasil sebuah kecenderungan (tendensius). Hasil kecenderungan menjadi pemimpin itu sendiri adalah tidak lain untuk memenuhi rasa kepuasaan diri (satisfaction) baik untuk diri orang lain maupun diri sendiri. Kaitannya dengan kepemimpinan, maka persoalan sekarang bukan terletak ke arah mana seseorang berkecenderungan, tetapi lebih menekankan pada kekuatan arah tendensi seorang pemimpin, artinya lebih kuat tendensinya pada diri sendiri atau pada orang lain.

Kekuatan tendensi merupakan salah satu temperamen seseorang yang menyatu dengan berbagai karakteristik lain dalam membentuk diri orang tersebut, sehingga masyarakat terkadang tertipu dengan penampilan dan retorika hipnotisnnya sang kandidat pemimpin, lalu langsung menentukannya sebagai pemimpin bagi kelompok mereka. Hasilnya terkadang mengecewakan anggotanya, bahkan jika ia adalah seorang presiden atau perdana menteri maka negara akan kacau balau serta tercabik-cabik kesatuannya, kelaparan akan ada dimana-mana, bunuh membunuh akan menjadi gaya hidup, pengungsi semakin meningkat dan akan terus meningkat jumlahnya, terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme, lebih dari itu, negara akan menjadi arena konflik antar group dan antar partai politik. Mengapa? Karena salah satu sebabnya adalah kecenderungan pemimpin lebih kuat pada kepentingan diri dan keluarganya ketimbang kepentingan kelompok, bangsa dan negara. Kepentingan kelompok atau negara yang dibesar-besarkan dalam berbagai program kerja yang tersusun sistematis hanya merupakan batu loncatan untuk lebih cepat memenuhi kecenderungannya ke hal-hal tertentu yang membentuk dan mempertahan tembok wibawanya.

Kini-disini yakni di Timor-Leste, pemimpin yang berorientasi pada negara belum dapat dimungkinkan terjadi oleh mentalitas pemimpin itu sendiri maupun oleh mentalitas masyarakat pada umumnya. Bercermin pada analisis kekuatan tendensi pemimpin di atas, setidaknya ada beberapa hal yang telah direalisasikan oleh para lider terdahulu maupun mungkin akan dilanjutkan oleh para pemimpin sekarang. Kekuatan tendensi Pemimpin yang terpilih oleh anggota partai politik maupun dipilih langsung oleh masyarakat tersebut antara lain: tendensi pertama, kekuasaan merupakan incaran pertama. Dalam dunia demokrasi, terkhusus di negara yang tingkat pendidikan masyarakatnya masih rendah seperti di Timor - Lste, sebagian kandidat pemimpin menggunakannya sebgai moment yang tepat untuk merebut massa demi meraih kursi kepemimpin yang diharapkan. Ada sebagian kandidat meluluhkan kecenderungan pilihan hati masyarakat pada diri mereka dengan program kerja, sebagian lainnya mempaparkan di depan popularitasnya kelemahan-kelemahan para pemimpin terdahulu yang tidak becus mengatasi pesoalan hingga diwariskan kepada generasi selanjutnya. Adapula yang mengungkit masalah-masalah KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) yang subur dalam pemerintahan terdahulu. Sebagian lagi, memberikan janji-janji melalui program kerja. Semua cara di atas, dilakukan oleh seorang calon pemimpin hanya untuk mencapai pada orientasi diri yakni untuk merebut kursi kepresidenan yang akan mengantarnya pada tingkat stratifikasi social yang tinggi. Selanjutnya sang pemimpin akan segera menuai penghargaan, penghormatan, kekayaan, kharismatik, pertahanan wibawa dan lain sebagainya untuk mencapai pada kecenderungan hati (tendensi hati). Tendensi kedua, kecondongan kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat yang mengangkatnya. Hal ini yang oleh Talcott Persons menyebut sebagai group orientation. Orientasi ini, dilakukan jika tendensi pemimpin pada diri sendiri telah terpenuhi. Memang dalam organisasi manapun juga selalu menekankan “mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi”. Tetapi kalimat ini hanya merupakan kamuflase (topeng) manusia untuk saling melampaui akal demi mencapai pada kecondongan hatinya. Itulah sebab, jika seandainya tahun 1999, masyarakat semua mengetahui bahwa pemimpin di erah kemedekaan akan lebih memperparah penderitaan masyarakat sebagaimana sekarang kita alami, tentunya kemerdekaan tidak bakal tercapai, contoh lain, Pasukan Australia adalah pasukan perdamaian namun ketika nyawanya terancam berubah menjadi pasukan pembunuhan. Dulu para lider ke Distrik mana saja di Timor – Leste, selalu disambut dengan tarian bahkan ditandu bagaikan Tuhan, namun kecenderungan yang lebih kuat kepada kepentingan diri sendiri, menjadikan masyarakat yang telah menjadi korban 1975 dan 1999 itu terus dijadikan korban kembli untuk yang ketiga kalinnya yakni tahun 2006. Jadi pernyataan yang menekankan kepentingan umum diutamakan merupakan sebuah ilusi di Timor-Leste hanya untuk mengait popularitas dalam suatu organisasi. Pernyataan “ mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi” ini hanya mungkin benar dikala sang pemimpin telah terpenuhi titik kepuasaannya. Itulah sebabnya banyak rakyat dipenjarahkan, sang pemimpin yang bersalah mengelak dari penjara. Mengapa karena banyak pemimpin membuat UUD dan UU maupun peraturan-peraturan cenderung pada pertahanan diri, karena itu sejauh ini setiap kali Parlamen Nasional maupun pemerintahan Fretilin mengeluarkan UU dan Peraturan selalu dapat reaksi keras dari masyarakat, ini merupakan fakta social yang tidak dapat dibungkiri di Timor-Leste. Bagaimana mungkin seorang pemimpin membuat bagi ddirinya UUD atau UU atau peraturan-peraturan, sementara ia sendiri tidak sanggup melakukannya?

Jadi perlu ditekankan lagi bahwa group orientation hanya mungkin tercapai jika self orientation-nya terpenuhi, sesudah itu baru para lider akan bertendensi kuat pada kepentingan umum. Dalam pendekatan sosio-ekonomi di Timor-Leste, kemiskinan identik dengan Timor-Leste, kemiskinan dalam berbagai aspek hidup baik ekonomi, pendidikan, kesehatan dan informasi dan transportasi merata diseluruh pelosok tanah air. Sementara kekuasaan dan kekayaan itu sendiri oleh masyarakat Timor-Leste menganggapnya sebagai sarana pembentukan wibawa dan harga diri. Jadi kemiskinan masih memungkinkan sulitnya mengeser kecenderungan pemimpin ke arah development orientation. Kini kecenderungan para lider adalah bagaimana cara memperkaya diri untuk memperkuat tembok pertahanan sang ero demi wibawa dan harga diri, ini merupakan life style yang masih sangat kental mewarnai karakteristik kita.

Tendensi ketiga, melihat budaya kita sebagai kultura Funu. Perang semua lawan semua (latin : bellum omnium contra omnes). Hal ini memungkinkan sang pemimpin masih akan menggunakan kekuasaan sebagai suatu kesempatan untuk budaya balas dendam setimbal (latin: lex talionis). Kelihatannya mustahil untuk mengabaikan prinsip lex talionis di atas. Mengapa? Karena pengalaman masa lalu yakni tahun 1975 yang mana waktu itu oposisi mengugurkan kemerdekaan serta pemerintahan demokratis gelombang pertama yang baru terbentuk dua Minggu. Oposisi yang merasa terjepit dan lemah serta tidak cukup tenaga untuk melenyapkan kemerdekaan dan pemerintahan waktu itu, meminta bantuan kepada Indonesia dengan terminology “integrasaun ba Indonesia”. Para pejuang kemerdekaan bersama proklamatornya menjadi incaran dengan diberi label gerakan pengacau keamanan (GPK) oleh tentara Indonesia selama 24 tahun.

Sementara sesudah kemenangan referendum dari Indonesia tahun 1999 dan terus pada tahun 2002 direstorasi kembali kemerdekaan yang pernah terbentuk tahun 1975, hasilnya adalah melalui demokrasi gelombang kedua terbentuk pemerintahan yang konstitusional, namun oleh karena oposisi merasa terjepit dan semakin dilemahkan arah politiknya oleh partai pemenang pemilu, maka oposisi mulai bersembunyi dibalik demonstrasi popular yang sesungguhnya di prakarsai oleh para oposisi itu sendiri dengan mengharapkan kematian pemerintahan pemenang pemilu. Hal ini ditandai dengan peti mati sebagai symbol kematian lider pemerintahan konstitusional. Hasilnya adalah pemerintahan Mari Alkatiri menjadi premature artinya abortus sebelum waktunya tiba.

Itulah sebabnya bukanlah berlebih-lebihan, jika kita mengatakan bahwa pemerintahan Fretilin dari keguguran menuju premature. Syukurlah kalau pemilu saat ini dimenangkan kembali oleh partai Fretilin. Tetapi jika tidak, maka tentunya kesan pahit masa lalu partai pemenang pemilu terdahulu tentu tidak akan membiarkan partai pemenang pemilu sekarang untuk bebas menggunakan kekuasaan mengatur keuangan dan kekayaan negara. Pada sisi yang lain partai pemenang pemilu periode 2007 – 2012 sekarang juga akan semakin kuat tendensinya untuk mempertahankan kursi yang berlabelkan “demokrasi parlamenter dan konstitusional”.

Refleksi kilas balik ( flash–back) pengalaman kepemimpinan masa lalu, membuktikan bahwa hampir setiap kali pemerintahan partai pemenang pemilu duduk pada kursi kepemimpinan, selalu bertendensi pada balas dendam setimbal dengan oposisi untuk mempertahankan kursi kepemimpinannya. Kini oposisi yang telah menjadi pemegang pucuk pimpinan juga akan mengalami hal yang sama, hal ini yang disebut dengan lex talionis di atas. Pertanyaanya adalah kemana kekuatan kecenderungan pemimpin periode 2007 – 2012?. Jawaban bisa ke arah development orientation, tetapi realitas sekarang, menunjukkan pemerintahan terdahulu bukan saja mewariskan masalah-masalah terdahulu yang semakin kompleks, tetapi sekaligus memiliki tendensi pada pertahanan ego yakni wibawa dan harga diri yang telah tercabik-cabik oleh pihak lain yang mungkin akan menjadi pemimpin nanti.

Jika demikian halnya akan terjadi, maka tendensi pemimpin ke arah development orientation hanya merupakan sebuah program halusinasi untuk meluluhkan hati masyarakat. Barangkali para lider, misalnya para kandidat presiden lebih bertendensi untuk menyelesaikan masalah untuk menegakkan kesatuan dan bersatuan bangsa kembali. Namun kita akan tetap dalam teka-teki “Akankah presiden terpilih 2007 – 2012 sanggup menyelesaikan masalah warisan presiden dan pemerintahan masa lalu ini?” Yang jelas mentalitas balas dendam yang menjadi ciri khas kita mununjukkan bahwa hukum boleh dibuat, peraturan boleh banyak, UUD-RDTL boleh ada, dunia Internasional boleh menekan, tetapi tetap saja masalah masa lalu akan meledak sewaktu-waktu sehingga mengaktifkan kembali budaya perang. Pengalaman masa lalu, tentu menjadi acuhan yang bermanfaat untuk kita lebih waspada ke masa depan. Sekali lagi penulis menekankan bahwa sejarah menyisakan, dalam dua kali pemerintahan di Timor-Leste, tiga kali masyarakat mengungsi serta kehilangan sanak saudara, harta benda serta kelaparan dan mati kelaparan ada dimana-mana. Pemerintahan tahun 1975 dengan presiden Francisco Xavier do Amaral, oleh politik pecah belah bangsa dari opisisi, akhirnya masyarakat 24 tahun menderita berbagai jenis siksaan baik mental maupun fisik dibawah rezim Indonesia. Pengungsi dan penderitaan yang lebih dasyat lagi terjadi pada tahun 1999, sebagaimana tahun 1975, pada tahun 1999 ini juga dalam waktu yang relatif sama hampir seluruh kota Dili dan Distrik-Distrik dipenuhi dengan korban nyawa maupun binatang peliharaan. Penderitaan belum berakhir, walaupun kemerdekaan merupakan harapan bersyarat nyawa sudah ditangan, yakni telah dibayar dengan 183.000 nyawa selama 24 tahun ditambah dengan korban berbagai harta benda. Tetapi tetap saja, kemerdekaan tahun 2002 dengan pemerintahan yang hampir didominasi oleh generasi yang merasa diri sebagai generasi pejuang itu, justru Timor-Leste lebih menderita dari tahun 1999.

Namun demikian, kita tetap berharap agar pembangunan dapat menemui jalurnya, walaupun hal itu hanya dimungkinkan jika: kekuatan tendensi pemimpin pada diri sendiri di kurangi; orientasi pada pembangunan semakin ditingkatkan; dukungan masyarakat terhadap program-program pemerintahan yang bersifat positif di tingkatkan; oposisi memberikan semangat pembangunan kepada partai pemenang pemilu; oposisi yang berkualitas dilibatkan dalam pembangunan; menghilangkan rasa balas dendam setimbal (lex talionis) melalui justica; pemerintah bersama dengan oposisi menggalang kesatuan dan bersatuan; meningkatkan kerjasama dengan gereja dan berbagai institusi yang ada; masyarakat diharapkan menghargai para pemimpin dari partai manapun juga; para pemimpin juga menunjukkan sifat yang rendah hati; keadilan social diterapkan di tanah air baik oleh pemerintahan tetapi juga oleh kesadaran masyarakat pada umumnya; para pemimpin diharapkan mengurangi kekuatan tendensi pada kepuasan diri sendiri dengan lebih memperkuat tendensi pada keadilan social bagi seluruh masyarakat Timor-Leste.

Kesimpulanya, mau atau tidak mau boleh atau tidak boleh yang jelas sebagai suatu negara berstatus merdeka harus memiliki seorang pemimpin. Kendatipun memilih seorang pemimpin ideal yang berorientasi pada pembangunan di Timor-Leste masih merupakan harapan bersama yang sulit terwujud pada generasi sekarang. Selain itu kesadaran kolektif yang berorientasi pada pembangunan melalui unity in diversity dari seluruh masyarakat juga masih merupakan harapan yang belum jelas. Satu hal yang sudah nampak jelas adalah para pemimpin bersama masyarakat masih memiliki kecenderungan hati nurani untuk menggalang bersatuan dan kesatuan bangsa menuju pembangunan yang seutuhnya.

No comments: