Saturday, March 10, 2007

DEMOKRASI ATAU DITADURA?

(Analisis Gaya Kepemimpinan Demokrasi dari perspektif Karakter Masyarakat Timor-Leste)

Bahasa Inggris : democracy: dari bahasa Yunani demos (rakyat) dan kratein (memerintah). Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebuah pengertian yang sangat menarik untuk disimak sekaligus memiliki kekuatan daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Letak kekuatan daya tariknya ada pada “pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat”. Pengertian ini menekankan rakyat menjadi aktor utama dalam pemerintahan serta kekuasaan politik dikembalikan pada rakyat itu sendiri sebagai subyek asali otoritas ini. Memang idealnya demokrasi demikian yakni pemimpin bangsa harus melalui suara mayoritas yang berasal dari rakyat dan oleh kesepakatan rakyat serta kembali untuk mengabdi kepada rakyat. Itulah sebabnya, John Locke (1632 – 1704) mengatakan pemerintahan harus merupakan hasil dari sebuah kesepakatan dari rakyat. Kesepakatan itu seyogyanya dirumuskan dalam peraturan dan hukum yang legal – formal dengan konsekuensi sanksi hukuman.

Namun pengertian ideal demokrasi di atas akan menjadi relatif bagaikan fungsi pisau ditangan rakyat. Pisau ditangan orang yang berkarakter penjahat akan digunakan untuk membunuh, pisau ditangan dokter akan digunakan untuk alat operasi yang bersifat menyelamatkan nyawa manusia. Jadi demokrasi berpotensi disetir oleh karakter rakyat dan pemimpinnya sesuai dengan kebutuhan dan tujuan bersama yang dikehendakinya. Hal ini juga tidak terlepas dari peranan karakteristik masyarakat yang terbentuk dari social budaya dimana mereka berada.

Itulah sebanya, demokrasi di Timor-Leste pada dasarnya sama dengan demokrasi di Amerika Serikat, paling tidak masih dalam hal teorinya saja. Dalam penerapannya sangat berbedah jauh, oleh karena karakteristik masyarakat kedua negara sangat berbeda untuk hal tertentu. Di Timor- Leste, sekedar melihat pengalaman dua dekade pemerintahan Fretilin pada masa lalu, nampak jelas karakteristik para pemimpin masih didominasi oleh campuran dua gaya kepemimpinan yakni kepemimpinan monarki yang cenderung ke ditadura, pada sisi lain dominan juga gaya kepemimpinan yang diadopsi dari para kolonialisme yakni pecah belah dan kuasailah (bhs Belanda: divide et impera), artinya pecah belah dan dikuasai oleh yang kuat, sementara yang lemah harus menghindar ke tempat-tempat pengungsian. Disinilah kepemimpinan demokrasi telah disetir oleh karateristik mentalitas masyarakat kita ke arah tirani dan oligarki. Sementara para calon pemimpin dari generasi baru cenderung propaganda besar-besaran dimana-mana untuk menunjukkan sifat eksistensi pada gaya kepemimpinan demokrasi, bila mereka dipercayai untuk memerintah negara ini pada pemilihan 2007 mendatang.

Namun demikian demokrasi sudah digunakan tahun-tahun sebelum masehi yakni sejak zamanya Filsuf Plato dan Aristoteles di bangsa Yunani dan pada tahun 1975-an dan tahun 2002 hingga sekarang, juga demokrasi masih tetap digunakan oleh para kandidat presiden Timor-Leste sebagai umpan untuk mengait suara mayoritas dari popularitasnya. Hal ini merupakan percikan dari demokrasi gelombang ketiga yang telah melanda di Portugal yang terkenal dengan istilah revolusi bunga atau bunga anyer pada 25 April 1974.

Setelah terjadinya bunga anyer tersebut, banyak putra/I Timor-Leste yang berpendidikan di Portugal kembali ke tanah air serta membentuk partai politik dengan warna demokrasi yang sangat kentara, misalnya partai ASDT, UDT dan APODETE, sementara Fretilin masih bersifat front revolusioner untuk kemerdekaan Timor-Leste, sedangkan partai lainnya masih enggan menggunakan demokrasi sebagai ciri khas mereka. Kendati demikian melalui demokrasi yakni suara masyarakat tetap diharapkan sebagai penentu partai politik untuk menjadi pemimpin bagi negara Timor-Leste.

Jadi melalui demokrasi masing-masing lider bergulat dengan tujuan untuk mengumpulkan suara mayoritas dari masyarkat. Pertanyaan sekarang adalah dalam kaitannya dengan karakter budaya kita, system kepemimpin demokrasi macam apa yang akan berhasil bertahan terhadap karakteristik barbarisme masyarakat ini?

Tentu untuk sebuah awaban atas pertanyaan di atas, ada kalanya kita sedikit berbeda pendapat. Apapun argumen kita, menurut hemat penulis, sejauh ini karakter pemimpin yang didominasi oleh gaya kepemimpinan para kolonialisme di tanah jajahan dan monarki yang mengacu pada ditadura dan tirani serta oligarki setidaknya masih sangat kentara di Timor-Leste. Gaya kepemimpinan ini dimungkinkan terjadi paling tidak untuk tiga hal penting, pertama karena mentalitas dan karakteristik baik pemimpin maupun karakteristik masyarakat sendiri belum memungkinkan juga dipimpin dengan system demokrasi. Menginggat ±450 tahun lamanya terbiasa dibawah pemerintahan otoriter kolonialisme Portugal dan pemerintahan monarki sebagai gaya pemerintahan yang dianggap original hingga saat ini. Sebagaimana pemerintahan monarki di negara lain sebelum tahun masehi, begitu pula di Timor-Leste, selalu diawali dengan adu kekuatan, raja yang kuat akan menaklukkan dan menguasai raja yang lemah secara paksa. Melalui demokrasi juga seolah kelompok yang kuat yang mayoritas pengikutnya dapat menaklukkan dan menguasai kelompok partai politik yang minoritasnya. Kelompok mayoritas yang berkuasa akan menggunakan kekuasaan dalam pemerintahannya itu untuk menetapkan strategi-strategi demi menghambat politik oposisi dalam proses politiknya. Sebagaimana isu pembagian sejata dari partai pemenang pemilu tahun 2002 untuk menghabisi lawan politiknya (baca: laporan komisi penyelidikan khusus dan independen untuk Timor-Leste: hal. 45 – 46). Sebagai balasannya, partai oposisi akan berusaha semaksimal mungkin, mengatur strategi juga bagaimana dapat menjatuhnya.

Jadi demokrasi di Timor-Leste oleh masyarakat justru menganggap sebagai lahan subur untuk saling aduh kekuatan dan saling menjarah, sebagaimana tahun 1975 dan 1999 dan 2006 baru-baru ini. Mentalitas jarah menjarah serta perang antar kelompok baik suku maupun antar partai politik serta antar group belah diri ini belum dapat digeser oleh teori demokrasi ala Amerika Serikat. Demokrasi berbenturan dengan karakteristis masyarakat pada umumnya di Timor-Leste. Itulah sebabnya demokrasi menghadapi tantangan berat dari karakteristik masyarakat itu sendiri.

Setidaknya pengalaman konflik internal F-FDTL awal tahun 2006 yang berdampak pada konflik nasional patut menjadi bahan refleksi yang logis. Ketika tentara nasional F-FDTL dan PNTL masih berfungsi, kejahatan dapat diredusir bahkan senjata dan seragam militer masih merupakan dimensi ketakutan tersendiri bagi masyarakat terkhusus para aktor kriminal yakni mereka yang hampir perkerjaan hariannya adalah mabuk-mabukan, penyodongan, perampasan serta jarah-menjarah. Namun ketika penarikan senjata PNTL maupun F-FDTL oleh pemerintah melalui pasukan internasional, kriminalitas pun muncul lengkap dengan berbagai jenisnya di kota Dili. Hasilnya adalah Dili menjadi lautan api di erah restorasi kemerdekaan ini. Mengapa? Dimana-mana rasa jengkel masyarakat muncul dengan sentilan yang berbunyi “pecah belah hancurlah, kita semua tidak akan menikmati kemerdekaan”. Mengapah semua ini terjadi? Siapakah yang akan dibersalahkan? Jawaban untuk dua pertanyaan ini cukup satu kata “demokrasi” artinya dari karakter rakyat oleh karakter rakyat untuk karakter rakyat. Rakyat yang memilih, pemimpin yang memulai aksi aduh domba, oleh rakyat sendiri yang menghancurkannya dan dampaknya untuk dialami oleh masyarakat kecil itu sendiri. Itulah sebabnya di berbagai tempat kegiatan simu malu, pemerintahan selalu menyeruhkan agar masyarakat secepatnya merealisasikan program pemerintah tentang simu malu. Tetapi hampir seluruh masyarakat mulai dari umur kurang lebih 7 tahun ke atas selalu berkata “lider sira mak halo, ami mak sofre”. Hal ini nampak jelas dalam berbagai wawancara TVTL sejak tahun 2006 hingga saat ini. Jadi krisis memang berawal dari aksinya para lider bangsa yakni menyerang mental masyarakat dengan strategi melempar isu melalui komunikasi yang bersifat konfrontatif di tengah masyarakat. Sesudah itu, isu yang konfrontatif itu dijadikan oleh masyarakat sebagai bahan pertengkarkan antara kelompok satu dengan kelompok yang lain dan terus berdampak pada kehancuran harta benda dan nyawa. Hal ini yang disebut dengan pemimpin menyerang psikis masyarakat, seterusnya masyarakat menyerang fisik (harta benda dan nyawa) antara masyarakat itu sendiri. (Baca: laporan komisi penyelidikan khusus dan independen untuk Timor-Leste. hal. 1 – 92).

Jelaslah sudah dimengerti bahwa krisis kesadaran nasionalisme sesungguhnya bukan hanya ada pada masyarakat saja, tetapi juga para lider pada umumnya. Atau dengan lain kata kesadaran nasionalisme subyektif belum terbentuk secara mandiri dalam jiwa baik pemimpin maupun masyarakat pada umumnya. Seolah-seolah kesadaran nasionalisme hanya mungkin ada bila dipaksakan dengan kekuatan system pemerintahan ditadura. Seandainya jika tidak mendatangkan komisi penyelidikan khusus dari PBB, tentu dosa tragedy Dili Lautan Api dapat dibebankan kepada “pihak ketiga”. Sementara pihak ketiga itu sendiri adalah utopis (baca: ada dalam angan-angan, tetapi tidak pernah jadi realita).

Dimana-mana cara komunikasi para pemimpin bangsa selalu membuat masyarakat pada taraf konfrontatif yang menuju pada pecah belah bangsa. Konflik antar partai politikpun kian hari kian memanas. Seterusnya hampir tidak pernah mendengar para oposisi memberikan semangat kepada para partai berkuasa untuk giat dalam program pembangunan. Hampir pula tidak pernah partai pemenang pemilu dalam pemerintahannya memberikan semangat kepada oposisi untuk turut mambantu dalam pembangunan bangsa. Justru sebaliknya baik partai berkuasa maupun oposisi bergulat terus-menerus merebut kekuasaan dengan bebagai cara sepanjang waktu - mencari kesempatan yang memungkinkan untuk saling menjatuhkan, tanpa mempertimbangkan dampak pada hancurnya bersatuan dan kesatuan bangsa. Jadi sudah membudaya di Timor-Leste untuk merebut kursi presiden dan perdana menteri dengan pengorbanan darah.

Jadi bukan rahasia lagi untuk mengatakan bahwa perpecahan yang akhir-akhir ini terjadi disebabkan karena pernyataan para lider bangsa itu sendiri. Pernyataan firaku dan kaladi yang diduga keluar dari mulut para lider F-FDTL dan dipertajam kembali dengan pernyataan Presiden Kay Rala Xanana Gusmao di hadapan petisionernya mengatakan “ita husi Manatuto to ba Oequsi milisi nia oan” melalui TVTL (televisaon Timor – Leste), konsekuensi dari pernyataan ini, masyarakat yang tidak mengerti langsung mengartikannya sebagai batasan tanah perang. Jadi memunculkan perang suku. Pada hal pernyataan sang presiden itu tidak bermaksud untuk memisahkan masyarakat. Namun tetap saja masyarakat yang masih berkarakteristik hambah penjajah ini menterjemahkan ke arah pecah belah dan hancurlah. Meskipun tidak semua, namun sebagian orang yang menamakan diri dari Loromonu yakni 10 Distrik bersatu, mulai pada bulan April 2006 menyerang dan menjarah serta membakar harta kekayaan masyarakat dari 3 Distrik yang berdomisili di kota Dili hingga April 2007 ini. Dimana-mana spanduk dipasang dengan tulisan “ami lakohi simu Iraq sira iha ami nia bairo”. Lebih menyakitkan lagi, pasukan perdamaian Australia yang didatangkan oleh pemerintah untuk sedikit menolong masyarakat Timor-Leste, justru oleh perintah para lider bangsa pula, mereka mulai memburuh dan membunuh kembali masyarakat yang sudah menderita di kamp-kamp pengungsian dengan alasan yang tidak serasi dengan misi mereka. Karena itu, Fernando Lasama, salah satu kandidat Presiden dari Partai Demokrasi dalam debat kandidat Presiden tertanggal 5 April 2007, menegaskan penolakan perilaku pembunuhan oleh pasukan Australia tersebut dihadapan 7 kandidat presiden lainnya.

kedua, Gaya kepemimpinan system demokrasi berbenturan dengan karakter barbarisme masyarakat Timor-Leste. Coba dianalisa secara jernih, Ramos Horta dengan medali perdamaian internasional saja, belum mapan dengan hanya menggunakan system kepemimpinan demokrasi dan damai dan kasih (domin no paz) untuk menghadapi masyarakat yang berkarakter perang dan jarah menjarah ini. Mungkin akan lebih baik lagi kehidupan pemerintahan dan masyarakat jika periode 2007 – 2012 ia menjadi presiden. Namun pengalaman Ramos Horta sebagai perdana menteri tahun 2006, membuktikan bahwa ia masih memerlukan kekuatan senjata dari tentara 14 negara sebagai kekuatan alternatif untuk mempertahankan demokrasi di Timor-Leste. Bagaimana mungkin memerintah dengan perdamaian dan kasih saja? Memang dilihat kuatintasnya hampir 99% mayoritas agama Kristen yang didik dengan dasar doktrin kasih Kristus. Namun persoalannya adalah gereja yang telah 500 tahun lebih lamanya memberitakan kasih melalui berita Injil Yesus Kristus saja baru berhasil menjadikan 99 % masyarakat Timor-Leste mengaku memiliki kasih Kristus. Tetapi sebaliknya 99% pula dari total Kristen belum berhasil memiliki kasih secara benar sesuai dengan kata Alkitab. Akhirnya gereja menetapkan tema sentral Natal tahun 2006 dengan judul “re-evangelisasi”. Apa artinya? Artinya adalah penginjilan ulang yakni berindikasi evangelisasi yang pertama selama 500 tahun lalu belum berhasil menjadi gaya hidup Kristen, kini diulangi lagi penginjilannya. Itulah sebabnya, tidaklah keliruh pula bila lider bangsa dengan pengalaman sertifikat Nobel Pedamaian, tidak dapat membendung arus timbulnya masalah.

Usaha menanamkan kasih (domin) selama 500 tahun saja belum semuanya berhasil mencantol sanubari masyarakat, bagaimana mungkin menanamkan damainya. Kasih (domin) harus mendahului damai, artinya tiada kasih yang berdimensi damai. Damai belum tentu berdimensi kasih. Jika ada yang berdamai tapi tidak didasari dengan kasih itu akan menghasilkan kedamian yang semu. Sudah terlalu banyak acara perdamaian baik dengan sumpah di depan para pastor maupun melalui acara perdamaian secara tradisional. Semua cara untuk memperoleh telah ditempuh, tetapi hasilnya adalah pembunuhan tetap hampir merata di sudut-sudut kota Dili bahkan dipusat-pusat kota Dili. Mengapa? Karena karakter pemimpin kita dan karakter masyarakat sebagai yang dipimpin masih didominasi oleh cirri-ciri temperamen bawaan yang terbentuk oleh karakter penjajah yang tidak mau mengalah. Itulah pertimbangannya, maka sepertinya perilaku gaya kepemimpinan campuran yakni dengan ditadura dan demokrasi barangkali lebih cocok untuk masyarakat Timor-Leste. Jadi dalam hal ini, kebijakan pemerintah mendatangkan pasukan perdamaian dari 14 negara untuk mengawasi proses demokrasi di Timor-Leste agak enggan untuk dibersalahkan. Sebab mustahil untuk waktu sekarang mengharapkan berakarnya demokrasi di tengah masyarakat yang masih bertingkahlaku barbarisme ini (baca: kejam, dan selalu menyimpang dari aturan), jika tanpa sedikit campur dengan ditadura.

Meskipun para lider mendapatkan dua kali penghargaan Nobel Perdamaian, boleh tiga empat orang mendapat nobel perdamaian dalam waktu sekali, tetapi tetap saja belum menjamin jalannya demokrasi akan seperti idealnya proses demokrasi di Amerika Serikat. Presiden Kay Rala Xanana Gusmao boleh memiliki karismatik dan symbol kesatuan dan karenanya selama ini kemana-mana selalu ditandu dengan rombongan tari-tarian, namun kepada wartawan Time-Timor edisi ke-V, ia masih mengatakan bahwa “saya sedikit kecewa karena masa akhir jabatan saya, masih banyak masalah yang belum dapat diselesaikan”. Fakta menunjukkan bahwa persoalan tidak terletak pada tidak menyelesaikan masalah itu, tetapi persoalannya adalah proses penyelesaian masalah itu sendiri yang dipermasalahkan oleh masyarakat. Jadi Alfredo dengan pengikutnya mempermasalahkan “proses penyelesaian masalah” yang diduga tidak adil. Bukan mempermasalahkan sudah atau tidaknya masalah diselesaikan. Bagi Alfredo dan pengikutnya tentu beranggapan bahwa masalah boleh sudah diselesaikan, tetapi melalui suatu proses yang tidak adil, maka selesainya masalah itu sendiri berakhir dengan masalah juga.


Jadi jelasnya adalah program sang pemimpin terpilih boleh banyak, pengalaman para lider bangsa boleh segudang, para kandidat boleh pandai meluluhkan hati masyarakat untuk memilih mereka. Namun tetap saja sang pemimpin akan dibawah ke dilemah persimpangan jalan. Sebagaimana pengakuan Ramos Horta dalam debat kandidat presiden tanggal 5 April 2007. Ramos Horta mengisahkan bagaimana ia menghadapi dilemah itu ketika hendak menyelesaikan masalah F-FDTL dengan petisioner. Sebagai perdana menteri, ia berusaha untuk mengembalikan 591 orang petisioner sebagai anggota F-FFDTL, tetapi sisi yang lain ribuan anggota F-FDTL bersama panglimanya akan meninggalkan F-FDTL itu sendiri.

Hal yang ketiga, Timor - Leste membutuhkan waktu untuk penyesuaian diri. Waktu memang sudah dimulai tahun 1975 dan 2002, namun belum menjamin meleburnya sifat-sifat demokrasi kedalam ciri-ciri temperamen pembawaan lainnya.

Hal ini nampak jelas bahwa hasil praktek penerapan demokrasi pada tahun 1975 masih tidak berhasil. Konsekuensi kemerdekaan tertanggal 27 Nopember 1975 tercabik-cabik oleh tindakan kekerasan oposisi di satu sisi, pada sisi lain oleh karena partai pemenang juga menganggap kemenangan berarti kekuasaan untuk balas dendam setimbal. Karena memang sebelumnya antar partai politik telah saling bunuh-membunuh sebagaimana sebagian telah terungkap melalui relatorio CAVR tahun 2005 lalu. Kegagalan penerapan demokrasi itu adalah Timor-Leste harus tertawan selama 24 tahun dengan tekanan militer Indonesia dengan label “demokrasi Pancasila”. Pada demokrasi gelombang kedua pada tahun 2002-pun menemui titik permasalahan yang sangat krusial hingga saat ini.

Sejenak kilas balik ( flash–back) perkembangan demokrasi di Amerika Serikat. Sejak tahun 1776 hingga tahun 1983, Amerika Serikat masih menerapkan undang-undang perbedaan warna kulit dalam interaksi social. Orang kulit hitam dilarang duduk dikursi depan kendaraan umum atau duduk di kursi kendaraan umum, sementara kulit putih berdiri. Sekalipun kursi kendaraan umum sudah diduduki oleh kulit hitam, tetapi pada saat orang Amerika berkulit putih datang, dengan sendirinya warga Amerika Serikat yang berkulit hitan harus bediri dan memberikan tempatnya kepada orang kulit putih untuk duduk. Sebagaimana Tony Lane menuturkan dalam bukunya yang berjudul “Runtut Pijar” bahwa pada 1 Desember 1955 ibu Rosa Parks, seorang perempuan Negro, ditangkap menurut undang-undang pemisahan berdasarkan warna kulit yang berlaku di kota Montgomery, karena ia menolak menyerahkan tempat duduknya di bus kepada seorang laki-laki kulit putih. Karena tidak memberikan tempat duduk di bus itu, maka Rosa Parks dapat pukulan dari laki-laki kulit putih tersebut. Selanjutnya perusahaan bus diboikot oleh masyarakat Amerika yang berkulit hitam, yang dipimpin oleh Martin Luther King. Karena itu Martin Luther King dua kali dipenjarakan, masing-masing pada tahun 1960 ddan 1963. Pertama kali, ia dilepaskan berkat campur tangan calon Presiden John F. Kennedy. Kedua kali, di Birmingham, Alabama, ia menulis dalam suratnya dari penjara yang terkenal itu sebagai berikut “kita tahu melalui pengalaman yang pedih bahwa kebebasan tidak pernah ddiberikan secara sukarela oleh penindas; ia harus dituntut oleh yang tertindas”. Lebih lanjut Tony Lane menuliskan bahwa pada bulan Agustus 1963 ia memimpin pawai yang termasyur memasuki kota Washington. Setibanya, ia berpidato kepada massa lebih dari 200.000 orang di Tugu Peringatan Lincoln. Puncak pengaruh King tiba antara tahun 1960 dan 1965. Ia mendapat ddukungan aktif dari pemerintahan Kennedy dan Johnson. Jadi tahun 1964 Kongres Amerika Serikat mengesahkan Undang-Undang Hak-Hak Sipil, yang memungkinkan pemerintah federal memasakan pembatalan pemisahan warna kulit dalam pelayanan umum. Pada tahun 1964 Martin Luther King mendapat hadiah Nobel untuk perdamaian. Namun pada tahun 1968 ia ditembak mati oleh pembunuh kulit putih di Memphis, Tennessee. Pada tahun 1983 Amerika menyatakan hari kelahiran King sebagai hari libur nasional, suatu kehormmatan yang sebelumnya hanya diberikan kepada George Washington. Kini tanda jasa dan kehormatan dapat berikan kepada siapa saja yang berwarganegara Amerika tanpa perbedaan warna kulit dan suku serta agama.

Jadi kesimpulannya adalah untuk waktu sekarang setidaknya demokrasi harus disertai dengan ditadura yang konstitusional demi menekan karakteristik masyarakat yang bersifat destruktif untuk menjamin laju pertumbuhan demokrasi yang ideal, sebagaimana menjadi harapan bersama. Dengan demikian lambat laun demokrasi akan menjadi gaya hidup, sekaligus sebagai symbol kebebasan hak asasi manusia dengan menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan hukum yang ditetapkan oleh perwakilan rakyat di Parlamen Nasional, yang juga sebagai representatif rakyat dari suara terbanyak.

No comments: